Bosannya Belajar




Ngantuk. Itulah yang saat ini aku dan beberapa temanku rasakan pagi ini. Bukan karena jadwal kuliah pagi yang masih deket dengan jam tidur mahasiswanya, melainkan karena materi yang dibawakan oleh tenaga pengajarnya.

Belajar, memang aktifitas yang sangat membosankan dan melelahkan. Terlebih lagi jika dosen/guru/mentornya (maaf) bertampang culun, ga bersih, kusem, kumel, dan lagi ga mengerti akan materi yang dibawakan. Sumpah, terkadang aku pengen dapet guyuran aer seember, atow siraman sperma segayung. Karena mia pikir, hal itu hanya buang-buang waktu saja.

Coba bayangkan, mata pelajaran kuliahnya sudah susah, lalu pengajarnya galak dan kurang mengusai materi. atow  pengajarnya kurang mengerti cara memberikan pengajaran yang bagus. 


Gimana siswa-siswinya bisa ngerti? Siswa-siswinya keburu jiper duluan melihat pengajar mereka.

Melihat hal seperti ini, mia jadi inget beberapa tahun lalu. Ketika mia sedang duduk di bangku SMA. Ada dua orang guru yang aku anggap sukses mengajarkan para muridnya dengan baik. Yah walaupun aku bukan siswa terpandai se-sekolahan, tapi paling nggak aku mengerti dan faham akan mata pelajaran yang dia berikan. Bahkan hal ini bukan terjadi hanya pada aku seorang, murid-murid lainnya pun merasakan hal yang hampir sama.

Dengan diajar oleh guru ini, mereka merasa lebih pandai daripada jika diajar dengan guru yang lain.

Emang apa sih kelebihan dari dua guru ini?

Oke, aku bakal ceritakan satu persatu keunikan dari masing-masing guru.

Sebut saja guru pertama ini dengan nama “Pak Guru Alex / PGA”

Pak Guru Alex, atow PGA, mempunyai cara pembelajaran yg unix. Dia selalu mengajar dengan membawa voucher makan atow voucher pulsa ke setiap kelas yang dia ajarkan. Namun kejelekannya, dia paling sering memberikan tes, ulangan dan kuis diantara guru-guru lainnya.

Hmm.. voucher makan dan coucher pulsa? Apa hubungannya?

Gini. PGA, selalu membagi para siswanya menjadi beberapa kelompok belajar. Setiap kelompok diisikan sekitar 5 - 6 orang. jadi setiap kelas, bisa terdiri dari 6 - 7 kelompok. Yang membikin menarik adalah, jika dia mengadakan ulangan / kuis, tiap kelompok yang memperoleh total score paling tinggi diantara kelompok laennya dikelas, dia bakal memberikan reward voucher makan ke tiap-tiap anggota kelompok tersebut.

Dan tiap kelompok yang memiliki score paling tinggi se-sekolahan, tiap-tiap anggota kelompoknya bakal dapet hadiah berupa voucher pulsa.


Uniknya, semua itu dilakukan oleh PGA ditiap minggunya.

Menarik bukan? Yah walaupun waktu itu voucher yang dikasih hanyalah berupa voucher dengan nilai nominal yang kecil, toh para siswanya terbukti sangat antusias dengan sistem pembelajaran yang diterapkan oleh PGA. Selain itu, tiap kelompok yang paling berprestasi, mendapat posisi paling atas di mading sekolahan. SEMANGAT..


* aku baru tahu jika voucher makan yang diberikan PGA adalah voucher untuk makan di salah satu caffenya :D


Oke, selanjutnya, untuk guru yang kedua, sebut saja dengan “Ibu Guru Citra / IGC”

Cara pembelajaran Ibu Guru Citra / IGC, menurut mia juga cukup unik. Walau prestasi yang dihasilkan oleh para siswanya tak sedahsyat jika dibandingkan dengan prestasi siswa PGA, prestasi murid IGC ini cukup menarik perhatian.


Kenapa kok bisa menarik perhatian? IBC sering bersolek.
YUP. IBC adalah kembang sekolahan tempat mia sekolahan dulu.

Hmmm...  kalian pasti berpikir, sepertinya IBC ini hanya digandrungi oleh para siswa saja ya? Weits. Jangan salah, siswi-siswinya juga sangat tertarik dengan cara pembelajaran ibu guru satu ini.  


Okelah, jika untuk para cowok, IBC mampu memberikan ‘semangat’ baru dalam cara belajar mereka karena kemolekan tubuhnya. Kecantikan dan kebahenolan IGC mampu menghipnotis murid-murid cowonya ke hal yang positif, yang mana hal itu sangat baik buat prestasi murid-muridnya.

Namun gimana cara mendapat perhatian siswi cewe? Yang mereka sama sekali tak tertarik dengan kecantikan dan kemolekan wanita? 
Caranya adalah dengan.... IBC, selalu mengedepankan moto “ Women Leaders..” 


Dia selalu memberikan trik dan tips untuk siswi-siswinya supaya jangan mau kalah oleh cowo. Selalu ngasih tips-tips penting tentang cara berpakaian, cara berdandan, cara menaklukan gebetan, dan yang paling penting, cara membikin cowo bertekuk lutut. 
* Tentu saja yang diajarkan waktu itu jauh banget dengan hal yang namanya seks.

Selain itu, dia sangat berusaha untuk mendekatkan diri dengan semua muridnya. Dia sering nongkrong ama kami-kami, dia sering ngajak kami jalan-jalan, dan dia memperbolehkan siswa-siswinya dateng kerumahnya.

Mungkin kalian berpikir, IBC bisa melakukan hal ini karena dia masih single? NOPE, kalian salah besar, karena waktu itu, dia sudah bersuami dan beranak 2. WOW.

Prestasi anak belajarnya, aku anggap cukup berhasil, karena selain memperoleh ilmu akademis yang cukup baik, selain itu, siswinya pun mendapat banyak masukan dari jutaan pengalaman beliau sebagai wanita penakluk pria.

Berpikir kreatif, hal itu lah yang seharusnya perlu diterapkan oleh para pengajar-pengajar kita saat ini. Karena selama aku mendapat pengajaran dari orang lain (selain PGA dan IBC), tak ada nilai lebih dari mereka. Kebanyakan pengajar tuh memiliki pola pikir yang sama. Datang ke kelas, memberikan materi, memberikan test, pulang. Dah itu saja.

Mereka kebanyakan hanya memberikan materi-materi yang sudah lama diterapkan dari tahun ketahun. Sama, serupa, dan tanpa ada modifikasi sama sekali. Bah!! Membosankan.

Padahal khan, jika para siswanya pintar, toh mereka-mereka juga yang bangga.

Orang tua muridnya pun juga dapat merasakan hal yang serupa, bangga akan kepandaian anak-anaknya. Guru sering mendapat pujian, parsel-parsel bisa berdatangan dari para orang tua murid, pamor sekolah naik, dan ujung-ujungnya banyak orang tua murid lainnya yang menginginkan supaya anaknya juga dapat bersekolah disitu.

Dan, intinya dari tulisan mia kali ini adalah, Pendidikan pun perlu pembaharauan.

Udah ah, temen-temenku udah pada cabut, kelas bubar...


readmore »»  

Lemas 1 | Diare

Ini kali kelimanya aku buang aer dalam satu hari ini.

Entah apa yang membuat perutku terserang oleh kondisi yang tak bersahabat seperti ini. Lemas dan tak bertenaga.

Sejenak aku berpikir. Apa yang menyebabkan tubuhku mencret/diare berkepanjangan seperti ini.

Sambal? aku doyan sambal, bahkan aku terlalu doyan dengan segala macam produk hasil olahan tanaman bernama cabai tersebut.

Masuk angin? Nggak juga, karena semalam aku sama sekali tak melakukan hal-hal aneh diluar rumah. Semalam aku juga tak tidur bugil di balkon, walau memang ada teman yang maen ke appartment mia dan berbincang sejenak di balkon, tapi itupun hanya beberapa menit saja.

Alergi? Hmmm.. alergi apaan ya? Udang? Ikan laut? Kerang? Atow kepiting? Aku tak ada alergi akan makanan-makanan itu.

Salah makan? Makanan yang mia makan kemaren ga ada masalah kok..

Dikerjain orang? Bentar, tadi pagi aku memang cukup banyak memakan brownies sisa semalam, tapi itupun brownies yang udah jadi langganan mia, jadi ga mungkin mia kena diare gara-gara makanan itu. Atow mungkin karena blog mia barusan yang ngomongin tentang uniknya keluarga beda sosial di jakarta? Ah tapi ga mungkin, khan keluarga itu tak ada yang mengenal mia sama skali.

Kecapekan? Kecapekan karena apa ya? Walau mungkin semalam suamiku agak sedikit beringas dan brutal ketika kami sedang bercinta, tapi aku sama sekali tak merasakan rasa capai dibadan.

Atau mungkin stress? Kalo stress sih bisa jadi sih. Karena setelah dipikir-pikir, banyak juga beban pikiran yang mia harus tanggung akhir-akhir ini. Pikiran mengenai kuliah yang harus segera kuselesaikan supaya bisa cepet lulus dan terbebas dari segala macam tuntutan tugas. pengen buru-buru memiliki momongan supaya ada yang menemaniku ketika suami pergi keluar kota. Pengen buka usaha sampingan yang sampai sekarang belum ketahuan bakal terwujud seperti apa. Atau pikiran karena sekarang aku sudah mulai merasa kesulitan untuk mengatur jadwal ketemuan dengan semua selingkuhanku. Hadehh... capek

Udah lah. Untuk sementara ini, jalani saja semuanya. Toh pasti ada jalan keluar dari semua pemikiran-pemikiran kurang pentingku. Yang jelas, sekarang waktunya cebok, mencuci pantat bulatku dari beceknya cairan kotoran manusia, mengenakan celana, merapikan pakaian, sedikit mengulaskan makeup, keluar toilet, menuju tempat parkir dan memulai acara kebut-kebutan ditengah macetnya jakarta.

pulang kerumah.


readmore »»  

Hargailah Pembantumu


ada kejadian seru ketika mia sedang makan siang di salah satu mall gede di daerah senayan.

mia makan bersama mantan mia, seorang cowo yang saat ini bekerja di daerah senayan juga.
mungkin karena deket dengan lokasi kerjanya, mia iseng nyamperin dia aja, sekalian minta traktir makan siang. :D

walaupun mia meminta janji dadakan, mantan mia tanpa merasa terpaksa, meluangkan sedikit waktunya tuk mentraktir mia. 

setelah beberapa saat memilih-milih tempat makan yang bakal menjadi tujuan makan, akhirnya lebih memilih makan di foodcourt. area makan yang menyediakan banyak pilihan makanan dengan harga yang relatif terjangkau. kami memilih meja makan diarea tengah-tengah foodcourt. mengambil satu meja yang berisikan 4 kursi dan mulai memesan makanan.

mie, iga dan sop buah, jadi menu pilihan makan siang mia. hmmm.. yummy...

tak beberapa lama, ketika kami mulai makan, datanglah segerombolan keluarga etnis tionghoa yang memilih meja makan dekat tempat mia dan mantan mia makan. 

RIWEUH, itulah gambaran pertama begitu mia melihat keunikan keluarga ini..

seorang pria gendut, dengan rambut tipis yang mulai membotak, wanita berkulit putih dengan perawakan sedang berambut coklat yang bagian depan rambutnya tinggi menjulang ke langit-langit, seorang nenek yang berpakaian ala remaja putri, dua orang anak kecil yang masih balita, serta dua orang babysiter yang membawakan semua perlengkapan mereka.

sang bapak, memerintahkan kepada kedua babysiternya tuk mendekatkan dua buah meja dan delapan kursinya menjadi satu bagian. yah mia pikir supaya mereka bisa bisa menyantap makan siang dengan nyaman, 

namun ternyata mia salah. dua meja dengan delapan kursi itu hanya digunakan untuk keluarga inti yang terdiri dari 5 orang saja, sedangkan dua orang babysiternya disuruh untuk duduk di kursi yang tempatnya agak jauh dari meja sang majikan berada.

wew. okelah, mia masih menganggap hal itu 'cukup wajar', mengingat status sosial mereka yang agak berbeda.

beberapa saat kemudian, para majikan mulai memesan makanan. dan disini mia melihat ada kejadian unik lagi.

tiga orang majikan menyebar untuk memesan makanan ke counter favorit mereka masing-masing, satu orang babysiter menjaga dua orang balita majikan, dan seorang babysiter lagi "ngintil" tiap-tiap majikan tuk membawakan nampan-nampan makanan mereka.

dan begitu mereka akan memesan makanan lagi, si babysiternya pun kembali ngikut sang majikan untuk membawakan nampan makanannya. begitu seterusnya.

okelah, mia masih berpikir untuk dapat memaklumin keanehan keluarga mereka. mungkin mereka terlalu lelah karena berbelanja sehingga mereka perlu bantuan babysiternya untuk membawakan nampan makanan mereka.

nah, mulai disini, kejadian unik yang mia anggap kurang masuk akal.

begitu pesanan makanan terakhir selesai dipesan oleh para majikan. acara pesan makanan pun tak berlaku lagi bagi kedua babysiternya.

yup.. si babysiter sama sekali tak memesankan makanan untuk babysiter mereka, ataukah babysiternya tak diperbolehkan memesan makanan apapun. 

wew.. aneh sekali ya keluarga ini.

jika kalian mengira keanehan ini sudah berakhir, salah. karena keanehan keluarga ini masih  berlanjut. 

belasan menu yang dipesan oleh keluarga majikan tentu saja tak mampu dihabiskan oleh anggota keluarga yang hanya terdiri dari 5 orang itu, terlebih lagi 2 orang diantaranya adalah anak kecil. 

ya iyalah, menurut mia pun makanan yang mereka pesan tuh terlalu banyak. karena satu orang memesan 3-4 jenis makanan, dan hampir semuanya tak dimakan habis, hanya dimakan sebagian-sebagian saja.

gila, ini namanya pemborosan.

dan ironisnya, begitu keluarga majikan selesai acara makan siang, semua makanan sisa itu ditinggalkan begitu saja. padahal masih ada kira-kira 3/4 makanan di tiap-tiap pesanan itu.

mereka seolah melupakan kedua babysiter yang daritadi hanya duduk-duduk melihat mereka makan. 
kedua babysiter itu seolah tiba-tiba menghilang ketika mereka makan.

heloooowww...

tahu nggak sih, jika kedua babysiter itu juga kelaparan?

bisa saja khan, sang majikan menyisakan sedikit makanan mereka buat kedua babysiternya, toh mereka juga tak memakan semua pesanan mereka sampai habis.

gila, bener-bener gila.

padahal mereka khan yang membantu mengurusin anak-anak kalian.
padahal mereka khan yang menjaga keselamatan dan memenuhi kebutuhan anak-anak kalian.

pembantu, walaupun mereka kalian bayar, mereka juga masih berupa manusia loh. mereka punya hati, perasaan, dan emosional.

separah inikah perbedaan status sosial di jakarta?



readmore »»  

Kontrakan Birahi 3A | Percintaan Toilet Umum



“Bentar mas… adek mau beli pembalut dulu…” kataku ke mas Andri, suamiku.

“Pembalut? Loh bukannya kemaren kamu baru saja selesai mens…” tanyanya
“Iya mas… mungkin adek kecapekan jadi siklus mens adek agak kacau…” 

Mas Andri langsung memeluk tubuhku “Tuuhh….khaaaannnn… kamu sih terlalu memforsir tubuhmu…jadi sampai sakit gini…udah, besok mas carikan kamu pembantu buat ngurusin rumah” katanya sambil mengecup keningku.

“Ahh…nggak usah mas…adek masih bisa kok…masih kuat mengurus rumah…adek cuman butuh waktu buat menyesuaikan diri sebagai ibu rumah tangga”
“Tapi kalau kamu sampai sakit gini dek…mas nggak tega ngelihatnya”
“Udah ah…mas nggak perlu khawatir…adek pasti bisa”
“Yakin?”
“Iya mas…adek yakin…jangan anggep adek seperti anak kecil ahhh…adek khan sudah jadi wanita dewasa yang bisa mengurus dirinya dan suaminya dengan baek…”
“Hhhmmm…oke lah kalau itu mau kamu dek…” kembali mas Andri mengecup keningku.
“Udah ah mas…adek malu mas cium-ciumin mulu…banyak orang yang ngliatin tuh”
“Yeeeeeeee….kamu khan istriku dek, wanita pendamping hidupku, kenapa harus malu? Mereka cuman iri aja ngliat aku bisa mendapatkan istri bak bidadari sepertimu…hahahahaha…” kata mas Andri sambil diam-diam meremas pantat bulatku lalu tertawa lantang.

Mendengar suamiku tertawa lantang seperti itu membuatku sedikit merasa bersalah, tidak, merasa sangat bersalah. Aku telah mengkhianati sumpah pernikahan kami. Sumpah suci dihadapan penghulu, wali dan saksi. Ikrar setia sehidup semati ketika kami menikah terkesan hanya sebatas ucapan biasa. Bagiku, semua sumpah itu seolah hilang, sirna begitu saja ketika nafsu bersetubuhku dengan orang lain muncul.

Dua bulan belakangan ini, aku telah bermain api dengan mas Manto, suami tetanggaku. Terbakar oleh api asmaranya, api cintanya, api nafsunya yang selalu mendidihkan birahi dan menghilangkan pikiran warasku. Panasnya api itu, semakin lama mengubah sosokku dari Liani lama yang setia, menurut, kalem, menjadi Liani  baru yang sering berbohong, suka berdebat, dan liar. Mengubahku menjadi menjadi Liani sinting, yang tanpa berpikir panjang telah berselingkuh dengan suami tetangganya dan rela memberikan sebagian sayang serta cintanya kepada lelaki lain selain suaminya. Liani sang pelacur murahan, yang telah merelakan tubuh dan seluruh aurat terlarangnya untuk dapat dinikmati oleh lelaki lain tanpa meminta imbalan sedikitpun. Liani sampah, yang tak menolak untuk dipermalukan dan diperlakukan tak senonoh oleh lelaki yang baru dikenalnya beberapa saat lalu.
< 

“Berapa totalnya mbak?” Tanya mas Andri sambil mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
“Delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah pak” jawab wanita penjaga kasir sambil tersenyum ramah.
“Itu sudah termasuk pembalut barusan?” Tanya mas Andri lagi
“Sudah pak”

Pembalut. Kembali rasa bersalah itu menghampiriku. Aku kembali teringat akan pertanyaan mas Andri barusan, mengenai siklus mensku yang tak menentu.

Siklus mensku sebenarnya teratur, bahkan sangat teratur. Selalu datang setiap akhir bulan, sekitar tanggal 25 atau 26. Namun mengapa ditengah bulan seperti ini, aku membeli pembalut? Hal tersebut bukanlah dikarenakan siklus mens, melainkan……

Merinding, geli, dan sakit. Kurasakan sensasi ketika mas Manto mulai menggerakkan ibu jarinya keluar masuk di liang anusku.

“Dek”
“Hhmmmhh...yah mas?”
“Boleh nggak…?”
“Ouughhh…ssssshhh...apa?”
“Tapi adek jangan marah dulu”
“Iya iya...adek nggak marah”
“Janji?”
“Apaan sie?”
“Janji dulu”
“Iya adek janji ga bakalan marah mas Mantoku sayang… buruan mas Mau apa?”

“Mas pengen …” dihentikannya semua aktifitas yang mas Manto lakukan. Baik sodokan penis besarnya di vaginaku, maupun kelitikan ibu jarinya di lubang duburku. Mas Manto menarik nafas panjang dan berujar lantang penuh harap kepadaku.

“Mas pengen masukin kontol mas dipantat kamu”

***

Flashback. Teringat aku akan kejadian yang menyakitkan kemaren, kejadian dimana mas Manto memperawani lubang duburku. Walaupun pada mulanya aku menolak, namun entah kenapa pada akhirnya aku menganggukkan kepalaku. Mengijinkan lelaki yang bukan suami resmiku melesakkan penisnya menerobos gerbang anusku.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, mas Manto menghentikan gerakan menyodoknya, mencabut bonggol batang penisnya dari vaginaku yang masih berlumuran busa putih hasil pergumulan alat kelamin kami, lalu langsung menancapkan  keliang duburku.

“OOOUUuuggghhh….sakit mas…pelan-pelan” teriakku keras.
“Tenang dek… tahan sebentar…” ucapnya sambil meremas dan merenggangkan buah pantatku, berusaha membuka liang duburku lebar-lebar.
“Pelan-pelan mas…bo’ol adek sakit banget”
“Emang awalnya sakit dek…tapi lama-lama juga terasa enak kok…malah sangat enak…cuuhhhh” ucapnya sambil meludahi liar duburku.

Diusapnya sekeliling urat lubang pantatku yang berwarna kemerahan itu dengan jari kasarnya, mencoba melumasi sampai selicin-licinnya. Tak lupa, mas Manto juga meludahi sekujur batang penisnya agar coblosannya dapat ia lakukan dengan mulus.

Dengan satu sentakan keras, mas Manto mendorong pinggulnya sekuat tenaga.

“EEeeggghhhh…” Kucoba menahan rasa sakit yang menusuk tubuh bagian belakangku itu. Kupejamkan mataku dan kugigit dalam-dalam bibir bawahku supaya teriakanku dapat sedikit teredam. Kurasakan, ujung kejantanan mas Manto menggeliat-geliat, berusaha menerobos barisan urat duburku. Gumpalan daging kebanggaan mas Manto itu terasa bagai pentungan kayu yang begitu keras, begitu padat, yang sanggup menjebol pertahan sekuat apapun. Karena tak perlu waktu lama, lingkar urat duburku perlahan membuka, terkuak, dan tak sanggup menahan desakan kepala penis mas Manto yang berusaha masuk itu.

“CLEP” akhirnya, kepala penis mas Manto yang berukuran ekstra besar itu berhasil melesak masuk kedalam liang duburku. Sekuat tenaga, kucoba menahan rasa sakit yang menusuk tubuh bagian belakangku itu namun tetap, tak tertahankan.

“AARRrrggggghhhhh….stop mas… STOOOP!!!” teriakku “Berhenti sebentar mas” tambahku, sambil kembali menahan desakan maju pinggul mas Manto dengan tangan kananku.

Mendengar teriakan kesakitanku. Mas Manto menghentikan sejenak desakan pinggulnya. Membiarkan kepala penis dan setengah batang hitamnya menancap erat dilubang duburku.

“Pantat kamu peret banget dek” kata mas Manto sambil mengelus pinggangku perlahan.
“Sakit banget mas…” kataku.
“……………” mas Manto tak berkata apapun.

Rasanya sungguh LUAR BIASA sakit. Semua ludah, cairan vaginaku dan rangsangan jemari yang mas Manto lalukan beberapa saat lalu, sama sekali tak memberikan efek nyaman kepadaku, tak sedikitpun.

Kutengokkan kepalaku, dan kutatap raut muka suami baruku yang berada dibelakang sana . Seolah tak terjadi apa-apa, mas Manto hanya memiringkan kepalanya, dan tersenyum tenang. Perlahan, telapak tangan kasarnya mulai mengusap buah pantatku, meremas, sambil sesekali kembali menguak lubang duburku yang masih mencengkeram batang penisnya.

“Cuuuhhh…terusin ya dek?” pintanya lagi sambil kembali meludahi lubang duburku.
“……………” Aku tak menjawab.

“Dek? Dek Liani? Mas terusin yah…?” tanyanya lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meminta persetujuanku.
“……………” kembali aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, meminta ampun darinya.

“Nggak boleh ya?...Yaudahlah…” mas Manto menghela nafas panjang dan mulai menarik separuh batangnya yang sudah tertanam di liang duburku. Pelan-pelan, batang hitam itu ditariknya keluar dari dalam duburku.

“OOOoohhhh” bulu kudukku tiba-tiba meringing. Detak jantungku tiba-tiba terasa berdetak lebih cepat lagi dan nafasku mendadak tersekat. Sesaat, kurasakan sensasi aneh yang belum pernah aku rasakan sepanjang hidupku. Rasa geli yang menggelitik, rasa gatal yang nikmat dan denyutan yang menggetarkan liang duburku, muncul seiring tarikan keluar batang penis mas Manto. Enak sekali.

Spontan, kuremas paha kanan mas Mantoku, dan menghentikan gerakan mundur pinggangnya.

“Jangan mas…jangan dicabut…”
“Hoh??”
“Jangan dicabut mas…sodok bo’ol adek lagi…” ujarku sambil membungkukkan tubuhku kedepan. Semakin kulebarkan bentangan kakiku dan berpegangan erat pada bibir bak mandi.
“Bener dek?” tanyanya dengan nada riang, mirip anak-anak ketika baru saja mendapatkan mainan baru.

Kuanggukkan kepalaku pelan dan tersenyum kearahnya.

“Makasih ya dek Lianiku…makasih banget dek…cuuuuhhh”

Bak mendapat tenaga baru, mas Manto langsung menghentakkan pinggulnya maju sekeras-kerasnya. Melesakkan batang raksasanya kembali masuk dan menjebol liang duburku.

“ARRGGggg….Pelan-pelan mas…pelan-pelan” erangku.

Namun eranganku terdengar tak berarti sama sekali. Bak bercinta dengan mahluk tunarungu, mas Manto tak menghentikan desakan penisnya sedikit pun. Seolah sedang berlomba, sodokan penis mas Manto semakin kuat, pinggul kekarnya ia hentakkan maju sekuat mungkin.  Mas Manto sepertinya lupa akan ukuran penisnya yang super besar itu.

Rasa sakit, perih, panas, semua rasa negatif itu kembali berkumpul menjadi satu, seolah ikut masuk kedalam tubuhku melalui lubang duburku. Penuh sekali. Lubang duburku seolah dipaksa untuk merenggang selebar mungkin. Rasa yang teramat sakit itu semakin terasa, seiring dengan desakan kepala dan batang penis raksasa mas Manto ketika berusaha ia lesakkan jauh lebih dalam lagi.

Erangku tak ia gubris, air mataku pun tak ia hiraukan. Sakit sekali. sampai kupukul-pukul kepalan tanganku ke bibir bak mandi tempat tanganku bertumpu untuk mencoba mengalihkan perhatian otakku ke sakit pada tanganku.  Kugeleng-gelengkan kepalaku tanda penolakan yang amat sangat. Namun, sepertinya semua telah terlambat. Mas Manto telah tenggelam dalam kenikmatannya di surganya sendiri. Surga dalam jepitan lubang duburku.

Dengan kedua tangan kasarnya, mas Manto mencengkeram samping pinggangku erat-erat, dan ia mundurkan paksa kearahnya, sehingga penis berukuran panjangnya itu semakin melesak masuk kedalam liang duburku. Sampai tiba-tiba kurasakan geli-geli rambut kemaluan dan tepukan lembut dua buah kantong zakar mas Manto pada bibir vaginaku.

“Uuuhh mentok dek…sumpah…peret sekali bo’ol kamu” lenguh mas Manto keenakan Sesaat, didiamkannya kembali penis besar itu didalam liang duburku.

“NYUT…NYUT…NYUT” Kurasakan pompaan darah di urat yang mengitari sekujur batang penis mas Manto berdenyut begitu hebat.

Karena seluruh batang panjangnya telah berhasil masuk seluruhnya kedalam liang duburku, mas Manto mulai memainkan kejantanannya. Mas Manto mulai menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur.

“OOoouuugghhh…” Kembali kurasakan, kenikmatan garukan kepala penis mas Manto. Kepala penis miliknya itu menggaruk kasar dinding duburku, dan urat-urat yang mengitari sekujur batang penisnya juga ikut menggelitik bibir duburku. Nikmat sekali.

Begitu batang penis itu tertarik sampai ujung, kembali mas Manto mencengkeram sisi pinggangku dan mendorong pinggulnya maju. Liang duburku kembali terasa begitu penuh dan menyesakkan perutku, namun entah kenapa, aku ingin merasakan bagaimana jika batang penis itu keluar masuk dengan cepat pada liang duburku. Ditarik, didorong, ditarik, didorong. Semakin lama, semakin cepat sodokan batang penis mas Manto pada liang duburku. Tak henti-hentinya mas Manto meludahi kelamin kami masing-masing sehingga penis dan liang duburku semakin basah oleh air liurnya.

“Enak banget dek…sumpah…peret banget…” desah mas Manto.
“Ooouuhhh” desahku juga, seolah menjawab pernyataan mas Manto barusan.
“Enak dek…?” tanyanya lagi.
“Hoo…. Ooouuhhh” jawabku sekenanya sambil menganggukkan kepalaku.
“Masih sakit?”
“Masih…” Kataku sambil menganggukan kepala “ Abisan kontolmu gedhe banget mas”
“Tapi enak khan…?”

Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum kearahnya. Memang benar, pada akhirnya, akupun menyerah akan kenikmatan yang aneh pada lubang belakang tubuhku ini. Gelitikan dan garukan kepala penis mas Manto pada liang duburku, benar-benar beda. Mungkin karena belum terbiasa, kurasakan batang penis mas Manto terasa lebih geli ketika bermain di dubur, daripada di vaginaku. Dengan tangan kananku, aku mulai mempermainan putting susuku. Malah terkadang aku juga merogoh biji kelentitku guna menyeimbangkan kenikmatan yang kuraih dari rongga belakang tubuhku.

“Ouuggghh…terus mas…sodok memek adek lebih dalam lagi mas…enak banget” pintaku ke mas Manto.

Sepertinya sedikit-demi sedikit, aku mulai bisa melupakan akan rasa sakit yang semula menusuk lubang duburku. Dan perlahan aku pun mulai tenggelam dalam gelombang kenikmatan seiring dengan sodokan tajam penis panjang milik suami tetanggaku ini. Towelan jemariku pada biji kelentitku pun semakin cepat, hingga cairan vaginaku juga semakin banyak merembes mengalir membasahi paha dalamku.

Sampai suatu saat, ketika sedang enak-enaknya menikmati perzinahan melalui liang duburku, aku dikagetkan oleh lenguhan mas Manto.

“Ooohhh…ooohh…ohhh…” teriak mas Manto tiba-tiba sambil menggerakkan pinggulnya keras-keras dan menghujamkan tusukan batang penisnya ke pantatku.
“Ooooouuuuggggghhhhh…aku nggak kuat lagi dek…aku nggak kuat…”
“Tahan bentar mas…tunggu adek…adek juga pengen keluar” pintaku.

Kupercepat towelan pada biji kelentitku. Aku juga ingin segera mendapat orgasme pertamaku, orgasme yang kuperoleh dari lubang duburku.
“Tahan mas…adek juga pengen keluar bareng…”

Namun, sekuat-kuatnya mas Manto, akhirnya ia kalah juga. Kalah oleh sempitnya lubang duburku. Kalah oleh empotan dinding duburku. Kalah oleh jepitan dubur perawanku.

“Mas nggak kuat lagi dek …  mas mau keluar …mas keluar…” teriak mas Manto lantang.

 “CROOOT… CROOT… CROT…”

Enam semburan kencang sperma mas Manto langsung memenuhi liang duburku. Kali inipun kembali kurasakan sensasi yang berbeda. Cairan kenikmatan mas Manto terasa jauh lebih banyak dan lebih hangat daripada sebelumnya. Bukan hangat, melainkan cenderung lebih panas daripada saat menumpahkan spermanya di dalam rongga rahimku.

Untuk beberapa lama, mas Manto mendiamkan goyangan pinggulnya, dan membiarkan penis panjangnya tertanam di liang duburku. Kurasakan batang penisnya berdenyut kencang, seiring dengan semburan sisa-sisa cairan spermanya. Nafas mas Manto memburu, badannya hangat, keringatnya menetes membasahi punggungku, dan detak jantungnya berdegub dengan kencang. Mirip seperti orang selesai melakukan olahraga.

“Bo’ol kamu enak banget dek…uuuuuuueeeeeeennnnnnnnaaaaaaaaakkkkkkk” ucapnya sambil memeluk dan mengecup punggungku dari belakang “makasie ya dek Lianiku…”
“Iya mas…kontol kamu juga enak banget…” jawabku “tapi kok cepet banget ya keluarnya kamu mas?...biasanya khan adek yang keluar duluan...baru setelah itu kamu?”
“Sumpah dek…jepitan bo’ol kamu kenceng banget…jadi mas nggak sanggup lagi menahan dorongan peju mas biar nggak keluar” ucapnya.

Diremasnya perlahan buah pantat putihku sambil sesekali dibukanya bongkahan pantat itu kesamping, memperlihatkan penis besarnya yang masih menancap dalam-dalam di lubang duburku.

“Bo’ol kamu memang nggak ada duanya dek…” pujinya.
“Halah gombal” jawabku singkat sambil tersipu malu.
“Aku sayang kamu dek…” ucapnya lagi “dah yuk…kita mandi trus bubu siang”
“Hah…? Kok bubu siang?”
“Loh? Khan ngentotnya udah selesai?”
"Yeeeee….bentar dulu donk…adek khan belum dapet jatah keluar…” kataku sambil mengernyitkan hidungku ke arahnya.
“Hehehe…oh iya-iya…mas lupa…”
“Dasar babon”
“Heheheh…kamu tenang aja dek…sehabis mas istirahat…kamu pasti dapet kok” ucap mas Manto sambil memamerkan deretan gigi kuningnya.
“Enak aja…nggak pake istirahat-istirahatan…” ketusku “nanggung nih…adek udah nggak tahan…buruan sodok lagi sekarang”
“Waduh…bentaran aja dek…kontol mas bisa kering kalo langsung digenjot begini”
“BODO…Awas aja sampai nggak…adek bakal cincang kontol kamu mas”
“Aduh…jangan donk…” pintanya “Istirahat bentar yak?”
“Hmm…...” kupikir, ada benarnya juga saran suami baruku ini. 

Sudah hampir 3 jam kami memburu kenikmatan ragawi. Semenjak pukul 9 sampai sekarang, hampir jam 12 kami berlomba-lomba mendapatkan kenikmatan, mungkin memang ini waktu yang tepat untuk sedikit beristirahat.

“Yaudah…tapi bener loh…AWAS kalo nggak!!” ancamku.
“Siap tuan putri…hamba mandi dulu yah…”

Perlahan, mas Manto mulai menarik penisnya yang mulai mengecil itu. Kurasakan, seiring tarikan penis mas Manto, cairan spermanya pun ikut merembes keluar dari lubang duburku. Geli akan gelitik kepala penisnya ketika mas Manto cabut dari liang duburku, serta rasa sakit pada dinding duburku, membuat bulu kudukku merinding.

“Sensasi nikmat persetubuhan yang aneh…” batinku dalam hati.

Namun ketika aku masih terlena akan kenikmatan baru pada liang duburku, tiba-tiba, kami berdua dikagetkan oleh cairan hangat berwarna putih kemerahan yang keluar seiring tarikan batang penis mas Manto dari dalam liang duburku. Kulihat kebelakang kearah pantatku, dan dengan tangan kananku, kuraba cairan hangat yang merayap turun melalui pahaku...

“DEG” Jantungku seolah berhenti berdetak.

Jemari tanganku belepotan oleh cairan berwarna kemerahan. Otak sehatku langsung berpikir keras, mencari tahu apakah cairan merah tersebut. Ternyata, setelah kuamati, sepertinya anusku berdarah.

Mendadak, kurasakan rasa yang amat sakit, perih, panas dan seperti terbakar. Liang anusku robek, dinding anusku pasti tak mampu menerima penuhnya desakan batang penis mas Manto yang ekstra besar itu.

Melihatku lubang pantatku berdarah mas Manto panic, buru-buru ia menarik paksa batang penisnya untuk dapat segera keluar dari liang pantatku. Karena tanpa persiapan, begitu kepala penis mas Manto berhasil seluruhnya tercabut, kembali rasa sakit itu menghampiriku.

“PLOP!”

“OOUuuuugggghhhh” Sakit sekali.

Cairan berwarna merah langsung mengucur seiring keluarnya penis besar mas Manto dari lubang anusku. Batang penis yang begitu besar itu meninggalkan rongga anusku terbuka dan  menganga lebar.

“Sepertinya susah untuk dapat mengatupkan kembali bibir duburku…” batinku.


***


“Dek…kok diam saja” Tanya mas Andri sambil melambai-lambaikan tangannya didepan mukaku. Pertanyaan suamiku itu langsung membuyarkan segala lamunanku.
“Eh…ke…kenapa mas?” jawabku gugup.
“Ini belanjaannya sudah semua…” ujarnya lagi sambil tersenyum lebar.

Senyum mas Andri begitu tulus. Ingin rasanya aku bersujud di kaki mas Andri tuk meminta maaf. Aku merasa seperti pelacur murahan, yang menjajakan kenikmatan liang tubuhnya kepada setiap lelaki yang lewat. Bak sampah yang sangat tak berharga,  aku merasa hina berdampingan dengan orang sebaik mas Andri, suamiku.

“Yuk…kita pulang… “

Aku hanya mengangguk.

Andai lidah bisa berkata, andai bibir bisa bercerita.

“Maafkan adek mas…sudah membohongimu…sudah menyelingkuhimu”
“Maafkan adek mas…sudah membiarkan tubuh sucinya ini dilihat…disentuh…dan dinikmati oleh laki-laki lain…”
“Maafkan adek mas…jika sangat menikmati perzinahan yang adek lakukan”
“Maafkan adek mas…”


***


Tak terasa, sudah hampir seminggu waktu berlalu semenjak kejadian anal dengan mas Manto. Tubuhku pun sudah kembali fit, tak lagi perlu memakai pembalut guna mencegah darah yang merembes keluar dari lubang duburku. Cara berjalanku pun sudah normal, tak lagi mengkangkang, mirip seperti bocah yang habis dikhitan. Dan empat pagi hari ini, akupun telah dapat melaksanakan semua tugasku sebagai istri dengan baik. Karena aku sudah dapat melayani hasrat birahi suamiku sepenuhnya.

Gairah seksku yang beberapa hari kemarin sempat menghilang karena sakit yang kuderita pada duburku, perlahan mulai kembali lagi. Gatal di vaginaku pun mulai kembali membabi buta, ingin selalu disodok, ditusuk, dihujam oleh batang kejantanan pria.

Mas Andri tampaknya mulai merasakan perubahan pada diriku. Suamiku sepertinya menyadari bahwa istri tercintanya berubah menjadi semakin liar, nakal, dan binal. Ucapan jorokku, pikiran kotorku, dan gaya bercintaku yang brutal, sedikit demi sedikit mulai diketahui mas Andri. Namun hal itu sepertinya bukanlah menjadi suatu masalah, karena sampai detik ini, mas Andri masih sayang dan mencintaiku apa adanya.

Mas Andri pun, semenjak beberapa hari lalu, telah aku ijinkan untuk mencoba liang duburku. Liang belakang tubuhku yang semenjak awal pernikahan kami, ingin sekali ia jebol. Berulang kali suamiku mengucapkan kata sayang dan terima kasih, atas kado birahiku padanya. Ia benar-benar menyukainya. Begitu pula denganku, sepertinya aku sudah mulai terbiasa untuk menggunakan asset tubuh belakangku yang satu ini. Malah sepertinya, aku sudah mulai menikmati nikmatnya bersodomi.


***

Pagi itu, tubuh bagian bawahku kembali basah untuk kesekian kalinya. Cairan kenikmatanku merembes keluar dari bibir vaginaku, dan sperma kental suamiku juga sedikit demi sedikit ikut menetes keluar dari liang duburku. Cairan kenikmatan kami sama-sama merayap, mengalir turun melewati paha dalam dan betisku. Sekarang, tak ada darah, tak ada sakit, hanya kenikmatan yang kurasakan dari kedua liang tubuhku...

Dari balik terali jendela, kutatap mobil kerja mas Andri yang perlahan menghilang di balik tikungan komplek perumahan kami. Ya, mas Andri telah dipercaya kantor untuk dapat menggunakan fasilitas kantor, dan dalam beberapa waktu belakangan ini, karir suamiku melesat begitu pesat. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan karir suamiku, aku menjadi sedikit ia lupakan. Mas Andri menjadi semakin gila akan bekerja, berangkat semakin pagi dan pulang semakin malam. 

“Sudahlah… toh semua itu juga demi kebahagiaan kami berdua” batinku pasrah.

Kulihat keadaan sekitar rumahku. Sepi, hanya ada beberapa balita yang sedang bermain, berlarian di lapangan rindang yang ada di tengah-tengah komplek perumahan kami. Ibu-ibu terlihat sibuk, berlarian kesana kemari sambil membawa mangkok nasi dan menangkapi anak-anak mereka untuk disuapi, sungguh seru melihat tingkah mereka. Tak jauh dari tempat ibu yang sedang menyuapi anak-anaknya, duduk ibu-ibu hamil yang juga sedang tertawa-tawa. Membahas gossip dan nasib mereka masing-masing

Ingin rasanya aku keluar dari rumah ini, dan ikut bergabung dengan mereka. Bergosip dengan sesama wanita, mirip semasa aku masih duduk di bangku kuliah dulu. Walau sekarang mungkin apa yang digosipkan jauh berbeda dengan masa-ku dulu, tapi paling tidak aku bisa menghabiskan waktu senggangku ketika sendirian dirumah seperti ini.

Namun ketika sedang melihat keasyikan mereka, tiba-tiba aku merasa pesimis, minder, dan iri. Kutatap tubuhku polosku ini. Tubuh ramping yang masih menebarkan aroma segar persetubuhan pagiku dengan suamiku. Tubuh yang masih meneteskan sisa-sisa sperma dari liang vagina dan duburnya.

“Kapan ya aku bisa hamil? Kapan ya aku bisa memiliki momongan? Kapan ya aku bisa bermain dan bercanda dengan buah hatiku?” tanyaku dalam hati.
“Aku juga ingin memiliki gundukan besar yang menempel didepan perut, berisikan janin hasil cintaku dan suamiku…memiliki tubuh gemuk nan cantik, khas tubuh ibu-ibu hamil… mengidamkan sesuatu yang dapat merepotkan suamiku…”

Sudah lebih dari 3 tahun aku dan mas Andri menikah, namun sampai detik ini, belum ada tanda-tanda tentang kehamilanku sama sekali. Aku hanya bisa mengelus perut rataku, dan menghela nafas panjang. Kuambil daster tipis dan celana dalam yang teronggok merana disudut sofa ruang tamuku dan mulai kukenakan lagi satu persatu.

Aku merasa mulai jenuh dengan kondisi yang sepi di siang hari seperti ini. Setelah tugasku sebagai istri selesai, sepertinya tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Semua acara TV pun sepertinya tak layak tonton, karena hanya berisikan sampah dan curhat masyarakat. Sinetron ulangan yang tak bermutu, ditambah iklan murahan yang selalu menghipnotis pemirsa untuk segera membelinya.

Aku bosan. Satu-satunya kegiatan yang bisa membuat waktu cepat berlalu adalah, tidur siang. Kubiarkan tubuhku terlempar dan membal diatas kasur empukku. Kurentangkan tangan dan kakiku lebar-lebar sambil menatap langit-langit kamar tidurku.

Ditengah kesunyian yang begitu membosankan ini, kembali terlintas ingatan mesum ketika aku bersama suami tetanggaku.

Bersamanya, siang hari tak pernah menjadi begitu membosankan. Bersamanya, siang selalu menjadi saat yang paling mengasyikan, saat yang paling ditunggu-tunggu dan tak ingin segera berlalu. Namun sekarang, semenjak kejadian “siang berdarah” itu, entah kenapa, sudah seminggu ini mas Manto tak kelihatan sama sekali.

Kupejamkan mataku, berharap dewa mimpi khan segera menghampiriku, dan mengajakku berkelana di alam mimpinya.

Kembali aku menghela nafas.

Mungkin mas Manto sudah melupakanku.


***


Suatu sore, sepulang mas Andri kerja, ia sengaja menyempatkan waktu dan mengajakku refresing untuk makan malam diluar. Dengan mobil kerja milik kantor mas Andri, kami menyusuri jalanan kota . Mencari-cari makanan yang pas untuk menemani sore yang mendung ini.

“Bakso atau soto dek?”
“Hmmmm…soto deh kayaknya mas…adek laper banget”
“DEPOT SAMIDI…” teriak kami berdua spontan sambil tertawa lantang. Kami berdua memikirkan hal yang sama
“Oke deh cantik… segera meluncur…” katanya sambil mencubit hidung mungilku.

Tak lama, mobil yang kami naiki segera masuk ke halaman depot soto terenak di kotaku. Depot Samidi, depot andalan kami ketika ingin memanjakan lidah. Depot itu sebenarnya depot biasa yang menjual semua jenis makanan. Mirip warteg, namun masakan yang paling tenar adalah sotonya. Dan hal itulah yang membuat depot Samidi selalu ramai dikunjungi pembeli.

Setelah memarkir mobil, kami segera masuk dan mencari tempat duduk. Pak Samidi, pemilik depot segera menyambut kedatangan kami, ia segera menyuruh anak buahnya mengantar kami ketempat duduk yang masih kosong. Kami mendapat tempat duduk di bagian paling ujung dan tepat disamping jendela yang menghadap ke area parkir.

Tak berapa lama, setelah kami selesai memesan makanan, tiba-tiba aku lihat dari kejauhan ada sepasang suami istri dengan motor bututnya, masuk ke halaman parkir depot Samidi.

“Itu mas Manto dan mbak Narti” dadaku mendadak berdegup dengan kencang.

Jantungku langsung memompa darah ke sekujur tubuhku dengan cepat. Badanku pun memanas. Entah kenapa aku gugup, bingung, dan tak mampu berpikir.

Pasangan suami istri itu segera turun dan berjalan kearah pintu masuk depot. Mas Manto dan mbak Narti celingukan mencari lokasi tempat duduk yang kosong. Sampai pada akhirnya, mas Manto langsung dapat mengetahui lokasi kami berdua.

“Eh dek… itu sepertinya mas Manto dan mbak Narti ya?” Tanya mas Andri yang ternyata juga melihat kedatangan mereka.
“Sepertinya bener deh mas…” jawabku.

Langsung saja mas Andri melambaikan tangannya kearah mereka “Kita ajak aja mereka bergabung kemari”

Pasangan suami istri itu sadar jika mereka sedang kami bicarakan. Karena tak lama, mbak Narti segera membalas lambaikan tangan suamiku. Digandengnya tangan mas Manto dan langsung berjalan kearah kami.

“Waah…ada mas Andri dan mbak Liani….” Sapa mbak Narti “Kok tumben makan-makan disini …?”
“Hehehehe… iya nih mbak… mumpung saya bisa pulang agak sorean, jadi disempet-sempetin deh buat makan bareng Liani…” jawab suamiku “Yah itung-itung mengingat masa pacaran dulu….ayo gabung mbak…”
“Waduh terima kasih…  jadi ngrepotin…”

Mas Andri beranjak dari duduknya “Justru saya yang merasa nggak enak kalo mbak sama mas sampai menolak“ ucap mas Andri berdiri sambil mempersilakan mbak Narti duduk “Udaaaah duduk aja dulu… yuk mbak… mas…”

Meja tempat kami makan berisikan 4 kursi plastic yang saling berhadapan dan bertaplak panjang. Aku yang duduk dekat jendela, berseberangan dengan mbak Narti. Dan mas Andri berseberangan dengan mas Manto. Tak lama, seperti teman lama yang bertemu kembali, kami saling bertukar cerita. Apa saja kami ceritakan.

“Ya ampun hampir lupa…Pak Sam (nama tenar pak Samidi) Soto specialnya lagi ya…dua…” teriak mas Andri lantang, sambil mengacungkan 2 jarinya “Super lengkap dan tambah lagi 2 teh botol ya…”
“Sssiiiiaaap bos…” jawab pak Samidi bakso tersebut sigap sambil menempelkan telapak tangan ke dahinya, mirip orang hormat ketika upacara.
“Wah sepertinya mas Andri sudah sering ya makan disini, sampai pak Samidi ngasih hormat kayak gitu…” ucap mas Manto sambil tersenyum lebar.

Kembali aku terpana melihat ‘ketampanan’ senyum mas Manto. Senyum menawan yang selalu membuat aku terlena. Kembali terlintas di memoryku. Saat-saat dimana sedang berasyik masyuk dengan mas Manto, saat ketika sedang bercengkrama dan bercinta, saat sedang mendaki lembah kenikmatan orgasme.

“Oh mas Manto”

“Bentar ya dek, mas tinggal dulu… mas mau ke toilet dulu...” kata mas Andri tiba-tiba, sambil mengecup pipiku.
“Eh...i…iya mas…” kagetku.
“Kamu layani saja dulu mas Manto dan mbak Narti ya dek…mas cuma bentaran kok”  candanya sambil tertawa kearah kami bertiga dan berjalan menjauh kearah toilet.

 “Oiya mas…bentar ya…aku juga mau kewarung sebelah” pamit mbak Narti ”Mumpung makanannya belum datang…mumpung masih sore juga...khawatir tokonya tutup”
“Emang kowe mau ngapain dek?” Tanya mas Manto.
“Mau beli kantong kresek buat jualan besok” tambahnya lagi sambil buru-buru berjalan meninggalkan kami berdua.

Hampir 5 menit, setelah kepergian pasangan kami masing-masing, tak terjadi sedikitpun komunikasi diantara antara kami berdua.

Sunyi. Tak terucap sepatah katapun. Ada sedikit rasa kikuk yang memagari kami berdua. Seolah kami adalah pacar lama yang telah lama putus, dan dipertemukan oleh nasib. Diam seribu bahasa. Aku hanya mengutak-utik handphone yang sedari awal tak kulepaskan dari genggaman tanganku.

“Aku kangen kamu dek…” ucap mas Manto pelan
Aku terdiam, kupegang erat-erat handphone yang ada ditanganku dan kutatap benda elektronik itu dalam-dalam.

“Dek…” tanyanya lagi.
Aku tak menjawab.

“Masih sakit ya…?”
Aku mengangguk pelan.

“Maafin mas ya dek…” ucap mas Manto dengan nada yang penuh perhatian “Mas khilaf…merasakan enaknya pantat kamu…mas jadi ga bisa berpikir waras”
“Ya sudahlah mas…” kataku pelan “Udah nggak kenapa-kenapa kok…adek sudah agak baikkan”
“Ya nggak begitu dek…mas merasa bersalah…sudah membuat kamu kesakitan seperti kemaren…sampe berdarah-darah gitu”
“Udah-udah tolong jangan membahas kejadian kemaren ya mas…adek jadi ngilu kalo mengingat kejadian itu…adek sudah sehat kok…” kataku sambil berusaha senyum kearah mas Manto.

Kasihan sekali melihat raut wajah jelek mas Manto, dia terlihat begitu tua. Hitam dan tak terawat, beda sekali dengan suamiku. Namun ada pesona dari pancaran mata dan senyumnya yang selalu membuat aku begitu sayang kepadanya.

“Maafin mas ya dek…”
Aku masih tak menjawab.

Melihat kebisuanku, mas Manto yang semula duduk berseberangan dengan kursi mas Andri, menggeser pantatnya dan berpindah ke tempat duduk yang ada di depanku.

“Dek…maafin mas ya dek…” ulangnya.
Aku tetap terdiam

Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan di ujung jari kakiku. Mas Manto mencoba mengalihkan perhatianku dengan menyenggol-nyenggol kakiku. Seolah mendapat sengatan listrik dari jemari kakinya yang kasar, darahku kembali berdesir. Kembali aku gugup akan tingkahnya.

“Dek Liani?” tanyanya lagi.
“……………” diamku.

Mungkin karena gemas melihatku tak menggubris semua pertanyaannya, mas Manto semakin berani mempermainkan jemari kakiku. Jemari itu mulai menyentuh punggung telapak kakiku. Merayap naik dan naik. Semakin naik keatas, kearah lututku.

“Mas jangan aneh-aneh...disini banyak orang…” jawabku singkat sambil berusaha memundurkan kursiku. Tapi sayang, hanya sedikit jarak antara sandaran kursiku dan tembok depot itu. karena begitu aku gerakkan mundur. “TUK” sandaran itu sudah membentur tembok. Tak mungkin lagi aku gerakkan mundur.

“Aku cuma mo minta maaf dek”
“Iya mas...iya…mas Manto sudah aku maafkan kok” jawabku singkat.
“Kalo udah dimaafin…Senyum donk dek…”pintanya.
“Udah ya mas... Ada mas Andri disini”
“Iya…tapi tolong…senyum dulu donk…biar hatiku tenang…dek Lianiku…istri baruku”

Seolah terkena mantra-mantra gaib dari mulut mas Manto, begitu mendengar kalimatnya barusan langsung membuatku kembali dimabok kepayang. Segera kusunggingkan senyum terlebarku. Aku tak kuat menahan rasa kangen di hatiku yang menggebu-gebu. Rasa kikuk itu tiba-tiba lenyap, hilang entah kemana. Walau mas Andri masih ada disekitar kami, hal itu kuanggap seperti bukanlah menjadi masalah untuk dapat kembali merajut benang-benang perselingkuhan antara aku dan suami tetanggaku.

Terlebih ketika aku masih merasakan usapan jemari kasar mas Manto yang semakin naik ke lutut kakiku. Membuat nafsuku kembali mendidih. Jemari itu dengan sopan mengusap lutut dan berusaha untuk dapat masuk kedalam pahaku.

“Aku kangen kamu dek…”
Aku hanya tersenyum mendengarnya...

“Sumpah…nggak ketemu kamu seminggu ini rasanya seperti setahun” mas Manto mulai melancarkan rayuan mautnya “Aku kangen kamu dek… kangen istri baruku”
“Halah…gombal” jawabku lirih sambil tersenyum malu “Emangnya kamu kemana aja mas…seminggu tak telihat sama sekali?”
“Loh…Mas khan harus berganti shift kerja dek…” jawabnya sambil terus tersenyum “Seminggu kemaren…mas kena shift malam…jadi siangnya nggak bisa ngliat kamu”

Ternyata mas Manto tak menghindar dariku. Tugas satpamnya memang seperti itu, waktu kerjanya dibagi sedemikian rupa, supaya keamanan tempat mas Manto bekerja selalu terjaga 24 jam non stop.

“Kamu bener-bener cantik dek dengan daster tanpa tali seperti itu…Hijau pendek…mirip lemper…” rayunya memuji penampilanku ”Apalagi rambut panjang kamu digelung keatas… rrrrrrrr…mas nggak tahan kalo melihat tengkuk putihmu itu loh…” tambahnya lagi sambil ia goyang-goyangkan tubuhnya mirip orang kedinginan.
“Halah basssiiiiii…bisa aja ngegombalnya…”
“Bener dek…” mas Manto celingukan, melihat situasi disekitarnya lalu berbisik lirih kearahku “Kontolku sudah ngaceng dari tadi dek…pingin ngerasain jepitan apem wangi kamu lagi” ujarnya sambil tertawa mesum.

Layaknya orang pacaran, kami mulai bercanda. Saling lempar banyolan-banyolan. Saling towel dan saling cubit. Mas Manto semakin menggencarkan serangannya, ia majukan kursi makannya kearahku, supaya jemari kakinya dapat merogoh masuk kepahaku lebih dalam. Ia begitu nekat. Mungkin karena taplak meja makan depot Samidi yang tergerai agak panjang, mas Manto dapat dengan tenang melakukan perbuatan cabulnya terhadapku. Terlebih, karena meja tempat kami makan adalah meja terpojok dari depot ini, sehingga tak ada orang yang bakal memperhatikan perbuatan mesum yang ia lakukan.

Dengan sekuat tenaga, aku tahan jemari kakinya dengan lututku. Mencegahnya supaya tak masuk lebih dalam lagi. Namun sia-sia, melihat kokohnya pertahananku, ia mulai menggerak-gerakkan jemari kakinya dan mencoba menggelitik lututku.

Mas Manto benar-benar tahu kelemahanku. Aku dari dulu memang tak berdaya akan rasa geli. Gelitikan jemari mas Manto pada lututku, membuat pertahananku melemah, dan begitu ia sadar akan lututku yang telah sedikit terbuka, dengan cepat ia menyelinapkan jemari kakinya semakin masuk kedalam pahaku.

Dielusnya paha dalamku dengan punggung telapak kakinya. Digoyang-goyangkannya perlahan, sehingga membuat bulu kudukku merinding. Mendapat perlakuan erotis darinya, mau tak mau, jantungku semakin berdegup dengan kencang, nafasku memberat, dan mukaku memerah.

“Aku sayang kamu Lianiku ?” ujar mas Manto 
Seolah menjawab dengan hal yang serupa, aku hanya menganggukkan kepala.

“Hayoooo….Kamu sange ya?...mukamu mulai merah loh”
Aku hanya bisa tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Melihat kenekatan mas Manto, tiba-tiba kenakalanku kembali muncul. Entah kenapa, tanpa ia minta, aku majukan kursi makanku kearahnya. Kubuka kedua lututku lebih lebar dan mempersilakan jemari kakinya yang kasar untuk dapat masuk lebih dalam. Aku menginginkan jemari kakinya dapat menyentuh vaginaku.

Tiba-tiba. “Empat soto special dan empat teh botol” ujar pramusaji yang membawakan makanan pesanan kami.

Mas Manto menghentikan gerakan nakalnya. Seperti tak terjadi apa-apa diantara kami berdua, dengan santai ia berucap. “Eh makanannya sudah datang ya…taruh disini saja”

Ogie. Nama pramusaji itu, dengan cekatan meletakkan semua makanan pesanan kami. Menatanya sedemikian rupa dengan gerakan yang cepat. Nasi, soto, teh botol semua segera tertata rapi di depan kursi makan masing-masing. Namun...…

“KLUTUK” tak sengaja, ia menjatuhkan satu botol koya yang ia bawa. Botol itu jatuh membanting lantai, tutupnya lepas, dan semua koyanya tertumpah keluar.

“Ma...maaf maaf…segera saya bersihkan” ujarnya gugup sambil mengambil tissue di meja dan segera berjongkok disamping kursi makan kami.
“Astaga…” aku baru sadar, jika sedari tadi jemari kaki mas Manto masih ada di dalam paha dalamku, dan masih mengelus-elusnya kulit mulus pahaku perlahan.

Melihat Ogie yang sedang sibuk membersihkan tumpahan koya dilantai, terbesit ide mesum dari otak mas Manto. Dengan jemari kakinya, mas Manto memerintah lututku untuk membuka lebih lebar lagi.

“Apaan sie mas…” bisikku sambil melotot kearahnya.
“Udah…pasti luchu…” bisiknya enteng sambil tersenyum.

Karena jemari kaki mas Manto semakin menggelitik pahaku. Akhirnya aku pasrah. Aku biarkan jemari kaki mas Manto membuka pahaku lebar-lebar dan menunggu Ogie untuk dapat melihat isi selangkanganku yang masih terbungkus celana dalam tipis ini.

Dan memang benar, lucu sekali melihat tingkah pramusaji muda ini. Mengetahui akan adanya perbuatan mesum yang sedang dilakukan mas Manto kepada pangkal pahaku, Ogie mulai bertingkah aneh. Ia semakin lama membungkukkan kepalanya sambil sesekali melirik kearahku. Ogie mungkin sedang bertanya-tanya dalam hati “Apakah tamu wanitanya ini tahu atau tidak jika dia sedang mengintip kedalam pahanya?”

Seolah-olah tak menggubris apa yang sedang Ogie lakukan, kami berdua tetap pura-pura tak memperdulikan dan saling bercanda. Berulang kali kulihat, Ogie membelalakkan matanya dan berusaha membasahi tenggorokannya yang kering. Aku yakin, Ogie saat ini sedang menikmati pemandangan indah yang terpampang tepat didepan hidungnya. Ia pasti sedang melihat paha putih mulusku yang dielusi oleh jemari kaki mas Manto.

Mendadak aku merasakan perasaan yang sangat aneh. Tiba-tiba, aku menginginkan untuk memamerkan aurat tubuhku. Kurasakan celana dalamku lepek membasah, vaginaku membanjir karena cairan vaginaku semakin banyak keluar. Melihat Ogie yang tak kunjung bangun dari posisi jongkoknya, membuat gairahku semakin  meninggi. Aku ingin Ogie melihat pahaku lebih jelas lagi, tidak, aku ingin Ogie melihat vagina basahku yang tertutup celana dalamku mungil.

Kuputar posisi dudukku kearah dimana Ogie berada, dan semakin kubuka lututku kebar-lebar. Kutarik ujung kain daster hijauku keatas sampai setengah pahaku terlihat. Aku ingin mempermudah mata Ogie menikmati mulusnya paha putihku. Aku ingin Ogie melihat cairan vaginaku yang membanjir.

Sekilas, kutatap mata nafsu Ogie. Kulemparkan senyum tipis dan anggukan kepalaku padanya. Kuharap Ogie mengerti maksudku.

Memang, makhluk yang namanya lelaki, sangat mengerti akan kode dan sinyal mesum dari wanita. Begitupun dengan Ogie. Seolah mengerti akan maksud senyuman nakalku padanya, ia kembali menjongkokkan tubuhnya lebih rendah lagi dan berpura-pura membersihkan tumpahan koya soto. Bahkan ia semakin berani menaikkan ujung bawah taplak meja makan kami, dan berusaha memasukkan kepalanya kedalam kolong meja.

Gelitikan jemari mas Manto pada paha dalamku semakin membuat darahku birahi mendidih. Terlebih, dibawah meja makanku, terdapat sepasang mata mesum yang melihat kemulusan kulit pahaku.

“GILA…aku melakukan foreplay ditempat umum…” batinku dalam hati. Rasa takut, penasaran, dan nafsu birahi bercampur menjadi satu. Benar-benar beda jika melakukan foreplay ditempat tertutup. “Kamu benar-benar SINTING Liani…”

Cukup lama Ogie berada dibawah meja makanku. Aku yakin, saat ini Ogie pasti sedang mengamati setiap jengkal paha dalam dan vagina basahku dengan seksama. Melihat pangkal kewanitaanku dengan jarak yang sangat dekat, karena terkadang aku dapat merasakan hembusan nafas panasnya pada lutut kananku.

“Loh…kamu ngapain jongkok-jongkok dibawah meja?” tiba-tiba kami bertiga dikejutkan oleh suara suamiku.

“JDUK...” terdengar suara benturan keras dari bawah meja, seiring dengan pertanyaan suamiku. Saking kerasnya benturan kepala Ogie ke meja, timbul riak di kuah soto kami.

Kepala Ogie segera keluar dari bawah taplak meja makan kami sambil mengusap belakang kepalanya “A…aduh ma…maaf…anu pak…saya segang membersihkan tu…tumpahan koya…ini koyanya segera saya ga…ganti yang kok pak” kata Ogie dengan kalimat terputus-putus sambil menunjukkan tissue berisi tumpahan koya.

 “Iya mas…tadi dia menumpahkan koya ke lantai…jadi berantakan deh…yaudah…aku suruh dia  mbersihin lantainya…” jelasku ke mas Andri.
“Ooowww….yaudah deh…tolong ambil koya baru ya dek” kata mas Andri
“Iya gih… sana …” tambahku sambil melihat kearah gundukan yang nongol didepan selangkangannya.

“Batang penisnya menegang dan membesar dengan posisi yang salah” batinku.

Melihat Ogie yang tak bisa berdiri dengan sempurna, membuatku dan mas Manto kesulitan menahan geli. Terlebih ketika ia mencoba berjalan kedapur, susah sekali bagi Ogie untuk menyembunyikan tubuh bungkuknya. Mirip kakek jompo yang mencoba untuk menegakkan punggungnya, kasihan sekali aku melihatnya.

Karena mas Andri yang telah kembali ke meja makan, mas Manto segera menarik kakinya keluar dari dalam pahaku. Mungkin ia khawatir, perbuatan mesumnya diketahui oleh suamiku.

“Loh…mbak Narti kemana mas?” Tanya suamiku sambil duduk di samping kursiku.
“Ooh…Narti beli plastik di warung sebelah” jawab mas Manto sambil memutar badannya dan menunjuk ke arah toko kelontong yang ada disamping depot “Nah itu dia si Narti sudah datang”

Dari kejauhan aku melihat tubuh bulat mbak Narti masuk ke dalam depot. Mungkin karena repot akan barang belanjaannya yang begitu banyak, ia menolak duduk didepanku. Mbak Narti lebih memilih kursi di depan mas Andri dan membiarkan suaminya tetap pada tempat duduknya. Tepat berada didepanku.

Tak lama, setelah mbak Narti duduk, muncul pramusaji lain dari dalam dapur.

“Maaf pak…ini koyanya” ucap pramusaji itu sambil meletakkan dua botol koya yang ia bawa diatas meja kami.
“Loh…? Si Ogie kemana?” tanyaku
“Oh…dia sedang disuruh pak Samidi bu…membersihkan toilet”
“Owww gitu… yaudah gapapa…Makasih ya sayang…” ujarku dengan intonasi semanja mungkin.
“Sama-sama bu…kalo ada apa-apa...ibu bisa panggil nama saya” ujarnya  lagi.
“Nah kalo begitu, acara makan sotonya bisa segera dimulai” kata mas Andri bak pejabat yang sedang meresmikan suatu acara.

Acara makan kami begitu seru. Kelentingan suara sendok, berbaur dengan tawa kami berempat. Dari situ, aku baru mengetahui jika ternyata mbak Narti suka bercanda dan bercerita. Apa saja ia ceritakan, mulai dari masa ia kenalan dengan mas Manto sampai kejadian barusan di toko kelontong samping depot Samidi. Melihat ia berbicara saja sudah susah bagiku untuk tak tertawa. 

Pelawak. Itulah kesan pertama ketika melihat sosok mbak Narti. Suara cempreng ditunjang tubuhnya yang gemuk pendek, semakin mempertegas kesan tukang humor pada dirinya.

Mbak Narti telah berusia 35 tahun, namun jika dilihat secara seksama, sebenarnya ia cukup cantik, hanya mungkin karena proporsi tubuhnya yang pendek dan gemuk, kecantikan yang ia miliki sedikit tertutup. Kulitnya hitam namun bersih, matanya lebar, dan senyumnya juga menawan, mirip senyum mas Manto. Dengan proporsi 150cm/60kg, hanya satu kelebihan dari mbak Narti yang membuat aku iri. Ukuran payudaranya sungguh luar biasa, besar sekali mirip payudara pemain film porno professional Amerika. Bahkan saking besarnya, daging kenyal yang menempel di dada mbak Narti itu terlihat seolah-olah mau loncat ke atas meja ketika ia tertawa.

Kutundukkan kepalaku dan kubandingkan payudara tumpah mbak Narti dengan payudaraku sekalku “Yah…mungkin kalau aku gemuk, pasti ukuran payudara itu bisa aku saingin…iya benar…pasti bisa aku tandingin” kataku dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Walau aku wanita, tak mudah bagiku untuk dapat tak memperhatikan goyangan payudara mbak Narti. Dalam hati, payudara mbak Narti terlihat begitu menggodaku. Kutengok mas Andri yang tepat berada di depannya. Mas Andri juga tampaknya terlena dengan goyangan payudara mbak Narti, karena ia terlihat begitu menyimak semua cerita dan banyolan yang diceritakan oleh istri mas Manto itu.

Sedikit muncul rasa cemburu ketika mata mas Andri tak melepaskan tatapannya dari payudara raksasa mbak Narti. Akan tetapi, semua itu aku biarkan saja. Aku biarkan mas Andri berzinah mata dengan wanita yang ada didepanku. Toh zinah yang aku lakukan bersama mas Manto, jauh lebih parah lagi.

Melihat mbak Narti yang keasyikan akan ceritanya, mas Manto diam-diam mulai mengelus telapak kakiku lagi. Rupanya mas Manto menyadari gerak-gerikku ketika aku sedikit membanding-bandingkan payudaraku dengan payudara istrinya. Karena tiba-tiba, ia telusupkan kakinya kepaha dalamku lagi. Sadar akan gerakan jemari kakinya yang semakin erotis, mukaku langsung memerah.

Beruntung, karena tertutup taplak meja yang cukup panjang ini, semua gerak-gerik tak wajar yang dilakukan mas Manto tak dapat diketahui oleh pasangan kami masing-masing. Terlebih mas Manto memiliki wajah bak pemain sinetron, pintar sekali menyembunyikan muka mesumnya. Selain itu, suamiku pun sepertinya telah terhipnotis akan cerita dan kemontokkan payudara mbak Narti, karena ia sama sekali tak memperdulikan kesibukanku dan mas Manto, sehingga tingkah mesum kami dapat berjalan tanpa rasa khawatir sedikitpun.

Vaginaku semakin membanjir, celana dalam hijauku semakin basah. Aku semakin gelisah ketika duduk karena berulang kali aku harus mengganti-ganti posisi dudukku, mencari posisi paling enak untuk dapat menikmati elusan mesum jemari kaki mas Manto pada pahaku. Namun sayang, karena ukuran meja makan ini terlalu lebar, sangat sulit bagi jemari kaki mas Manto untuk dapat menelusup lebih dalam lagi.

Putus asa karena tak dapat menikmati tingkah nekat mas Manto, akhirnya semua itu aku hentikan.

“Hhhh...permisi mas…adek mo ke toilet dulu” ujarku pada mas Andri.



Mas Andri beranjak dari tempat duduknya dan mempersilakan aku lewat. Tiba-tiba, ketika aku  berjalan di depannya, mas Andri mengecup pipiku.

“Mas aaaaaahhh…apa-apan sie…khan malu” ucapku spontan.
“Aduh…mesranya” ujar mbak Narti sambil bertepuk tangan dengan gaya konyolnya.
“Kok malu? Biasa ahh…kamu khan wanitaku yang paling ngegemesin” ujar mas Andri ”Udah sana ...buruan ke toilet, ntar malah keburu pipis disini…hahahaha” tambahnya lagi sambil sedikit bercanda.
“Terus…terus mbak…gimana kelanjutannya” Tanya mas Andri lagi kepada mbak Narti.

Melihat mas Andri lebih penasaran akan cerita mbak Narti, membuatku menjadi seperti tak diperhatikan, rasa cemburu itu timbul lagi.

“Memang sih, mbak Narti pandai sekali bercerita, pandai melawak, tapi khan aku istrinya. Harusnya ia lebih memperhatikan aku donk” batinku dongkol “Ah tapi biarlah…toh dengan semakin dekatnya suamiku dengan mbak Narti, aku juga bisa semakin dekat dengan mas Manto”

Kulangkahkan kakiku ke toilet, kutinggalkan suamiku yang masih terbuai cerita seru mbak Narti.

Toilet depot Samidi terletak agak jauh di belakang bangunan depot, berada disamping rumah induk. Sehingga jika hendak menggunakan toilet tersebut, pelanggan harus masuk kedalam dapur dan menyeberangi pekarangan belakang terlebih dahulu. Depot Samidi menyediakan 6 buah toilet campur yang semuanya berfungsi dengan baik. Kebersihan toilet itu juga sangat terjaga, bersih dan wangi.

Kupilih salah toilet kosong yang ada dideretan tengah, dan segera masuk kedalamnya. Kugantungkan tas kecilku di dinding, kuturunkan celanaku sampai sebatas lutut dan segera jongkok di atas jamban yang mengkilat bersih.

“TOK…TOK…TOK” tiba-tiba terdengar suara pintu toiletku diketuk perlahan dari luar.

“ Ada orangnya…” jawabku lantang dari dalam toilet.
“Dek…ini aku…mas Manto…buka pintunya donk” bisiknya pelan.

“Apa yang ia lakukan disini? Bukannya jika dia ingin menggunakan toilet, ada beberapa toilet lagi yang kosong disamping toilet yang aku gunakan” tanyaku dalam hati.

“ Ada apa mas? Toilet sebelah kosong kok” bisikku lagi.
“Bukan dek…mas kangen” katanya lagi sambil memutar-mutar kenop pintu toiletku.
“Adek sedang pipis mas…tunggu sebentar ya”
“Ayo buka dek…kontolku sudah nggak tahan lagi…keburu muncrat nih”

“Maksudnya apa mas? Adek masih mau pipisnya nih”
“Justru itu dek…bukain pintunya…mas pengen ngentotin memek kamu”

DEG. Kembali jantungku kembali menghentikan detaknya.

“GILA. Ini khan toilet…ini khan tempat umum…masa mas Manto ingin bersetubuh denganku disini? Ini gila… tak mungkin… mas Andri dan mbak Narti khan masih ada diluar sana …     bagaimana jika ada orang yang memergokin kami berdua?” pertanyaan-pertanyaan khawatir langsung memenuhi isi kepalaku.

“Dek…ayo buka dek…mas sudah nggak tahan lagi…”

Kata-kata ajakan mas Manto itu terngiang-ngiang di telingaku. Bagai aluan lagu merdu, kalimat itu membujukku tuk menurutinya. Dadaku berdebar dengan hebatnya, nafasku memberat, dan hasrat kencing yang dari ingin segera kutuntaskan, mendadak hilang.

Vaginaku kembali membanjir.

“Dek buruan…kontolku dah nyut-nyutan ini…pengen nyodok memek kamu”

Ingin rasanya ku tampar mulut jorok mas Manto itu. Ingin rasanya ku hiraukan semua ajakan mesum dari tetanggaku itu. Ingin rasanya kuteriak lantang, memanggil suamiku yang duduk tak jauh dari tempatku berada guna mengusir lelaki mesumku itu. namun…...

Tanpa menaikkan celana dalamku yang masih bertengger dilutut, kuberanjak dari posisi jongkokku. Kuberjalan mendekati pintu toilet, kuraih kenop pintu yang berbentuk bulat itu, kuputar perlahan, lalu kubuka daun pintu yang memisahkan kami berdua.

Kembali kulihat, senyum paling menawan dari suami baruku. Senyum indah suami tetanggaku. Mas Manto berdiri miring menyandarkan pundak kirinya di gawang pintu toiletku. Dengan tenang, tangan kanan mas Manto sudah bergerak maju mundur, mengurut batang penis raksasanya yang telah menyembul jauh keluar dari lubang resleting celananya. Sepertinya mas Manto hanya mengenakan celana pendek, tanpa celana dalam. Karena dapat kulihat rambut kemaluannya yang sangat rimbun itu, ikut menyeruak keluar melalui lubang resleting celana pendeknya.

“Gila kamu mas” ujarku sambil melongokkan kepalaku keluar dari dalam toilet, mencari tahu kondisi sekitar ”Kita bisa ketahuan”
“Nggak bakal…percaya deh”

Mas Manto langsung mendorong tubuhku kembali masuk kedalam toilet dan menutup pintu yang ada dibelakangnya. Dengan penuh bernafsu, mas Manto langsung mendorong tubuhku sampai menabrak tembok.

“Aku kangen kamu dek…” ucapnya sambil mulai melahap bibirku “Aku udah nggak tahan lagi…aku pengen ngentotin memek sempitmu” Mas Manto terlihat sudah begitu bernafsu. Mulutnya melahap semua bibir tipisku, menyelinapkan lidah kasarnya masuk kedalam mulutku. menarik dan melilit lidah lembutku.

Sangat bernafsu.

Nafasnya sudah begitu memburu, badannya menghangat, dan batang penisnya yang mengacung tinggi itu, berulang kali menusuk perut rataku. Tangan mas Manto tak mensia-siakan kepasrahanku. Langsung menurunkan daster tipisku, mencengkeram dan meremas payudaraku yang masih terbungkus bra. Lumatan bibir mas Manto mulai turun ke leherku, membuat bulu kudukku merinding menerima semua kecupan nafsunya.

“Ooouuugghhh maassss” desahku menahan geli.

Basah.

Foreplay yang selalu mas Manto lakukan, seolah-olah memandikanku dengan air liurnya. Tanpa melepas kait braku, mas Manto menaikkan mangkuk braku dan langsung mencaplok payudaraku yang meloncat kebawah.

“HAP” dengan brutal mas Manto meremas dan menyedot buntalan payudaraku sampai berwarna kemerahan. Digigitnya perlahan putting merah mudaku hingga tinggi mencuat.

“Ooouuugghhh…Adek juga kangen kamu mas…” kataku.

Nafsuku sepertinya tak tinggal diam, ia ikut bergejolak seiring foreplay basah dari selingkuhanku ini. Sambil memejamkan mata menahan geli, kuberusaha menggapai batang penis mas Manto. Dan dengan mudah, kutangkap batang penis hitam suami baruku itu. Begitu hitam, panas, dan berdenyut hebat. Dari mulut penisnya sudah menggumpal cairan precum, tanda penis itu sudah sangat siap untuk digunakan.

“Berbalik dek, pegangan bak mandi…” ujarnya singkat.

Karena tubuhku sudah sangat bergairah, tanpa basa-basi, segera kubalikkan badanku. Kurentangkan tungkai kakiku lebar-lebar, berpegangan pada bibir bak mandi toilet dan kumajukan tubuh atasku.

“Nungging dek” tambahnya lagi.

Mas Manto menaikkan bagian bawah daster sampai tengah-tengah pinggangku, menggulung dan menyimpulkannya, membuat mirip gulungan sarung. Melihatku yang sudah pasrah menanti sodokan penisnya, mas Manto mendekat maju.

“Mas…”
“Ya dek?”
“Sodok memek adek sekarang yah?” pintaku.

Mas Manto menganggukan kepalanya. Segera ia membuka kancing celana pendeknya dan membiarkan celana pendeknya langsung merosot, jatuh ke lantai toilet. Dengan sigap, mas Manto segera memposisikan kepala penis beserta batang panjangnya diantara liang vaginaku.

“Buruan mas…sodok memek adek” tak kuat menahan gatal di vaginaku, kugenggam organ panjang yang tumbuh diantara selangkangan mas Manto itu dan kuarahkan ujung batang penisnya supaya tepat berada di depan lubang vaginaku. “…TUSUK MAS”

Tanpa perlu menunggu perintahku lagi, mas Manto segera menuruti permintaanku. Ia langsung memulai gerakan erotisnya dan menghujamkan penis raksasanya kedalam vaginaku yang telah membanjir basah.

“OOooouuuggghhhh” kugigit bibir bawahku ketika kepala penis mas Manto mulai menyentuh bibir vaginaku. Perlahan kepala penis itupun mulai menyeruak masuk perlahan ke liang vaginaku.

Kepala penisnya sungguh besar, menguak sempitnya katupan bibir vaginaku, berusaha masuk dengan susah payah. Semakin kutundukkan tubuh atasku dan kulebarkan rentangan kakiku, guna mempermudah upaya kepala penis Manto masuk liang vaginaku. Dengan kedua tanganku, kutarik buah pantatku kesamping berharap penis itu dapat segera mengaduk lubang kenikmatanku.

“CLEP”

“OOuuugghhhsssssshhhh…”




By MiAW

readmore »»